tirto.id - Karena kesal dengan perusahaan pengembang yang akan membeli tanahnya, seorang petani di Cina melampiaskannya dengan cara brutal: menembakkan roket ke arah mereka.
Sebagaimana dilansir BBC, kasus ini terjadi pada Juli 2015 silam dan petani tersebut bernama Yang Youde. Ia muntab lantaran uang kompensasi yang akan diberikan perusahaan pengembang kelewat rendah. Di sisi lain, pihak perusahaan menilai jumlah yang diberikan sudah lebih dari cukup.
Cekcok pun terjadi. Bagi Youde, hal ini adalah peperangan—dalam makna yang sebenarnya. Maka, petani berusia 56 tahun tersebut pun menempuh cara ekstrem dalam melancarkan protes: Membangun menara pengawas di area sekitar dan merancang roket sendiri yang dapat meluncur hingga sejauh 100 yard atau sekitar 90 meter.
Dengan sigap, ia terus mengawasi keberadaan tanahnya agar tidak diutak-atik. Kelak, ketika para pekerja perusahaan tersebut tiba untuk membongkar lahan, Youde meluncurkan roket tadi. Mereka pun kabur tunggang langgang.
Apa yang dilakukan Youde tentu saja salah secara hukum. Bersama kakak laki-lakinya yang turut membantunya, Youde sempat diserang balik oleh pihak perusahaan dan para aparat keamanan yang “menemani” perusahaan pengembang tersebut. Beberapa pejabat setempat pun dikabarkan berang dengan aksi nekat Youde.
Namun, berbagai media luar yang meliput kasus ini menilai yang dilakukan Youde adalah upayanya mempertahankan diri dalam menghadapi relokasi paksa oleh perusahaan maupun pemerintah. Apalagi di Cina, kasus seperti ini bukanlah yang pertama. Ada pemberontakan-pemberontakan lain, terutama yang berkaitan dengan isu tanah.
Dalam sejarah, ada pula dua nama pemberontak yang dikenal bernyali besar: Giuseppe Garibaldi dan Renzo Novatore. Nama pertama dianggap sebagai pahlawan, sementara yang kedua dituduh sebagai bajingan.
Menyatukan Italia, Menjadi Separatis di Brasil, Bertempur di Uruguay
Jauh sebelum Ernesto Guevara mengembara dan menjadi liberator paling populer di jagat raya, ada nama Giuseppe Garibaldi. Sosok ini, yang lahir dari keluarga pedagang di Nice, Perancis, pada 4 Juli 1807, adalah petualang revolusioner yang kelak menyatukan seantero Italia, memerdekakan Brasil, hingga membebaskan Uruguay.
Sejak kecil Garibaldi sudah menunjukkan bakat menjadi pemberontak yang mumpuni. Ketika usianya 15 tahun, ia menolak saran ibunya untuk masuk sekolah keuskupan dan memilih bertualang di laut. Namun, hasrat pembangkangnya yang terbesar disuluh karena muak dengan Kerajaan Sardinia yang kala itu tengah berkuasa.
Pada 1834, Garibaldi memutuskan terlibat dalam pemberontakan “Giovine Italia”—sebuah gerakan yang diinisiasi oleh Giuseppe Mazzini demi unifikasi Italia atau dalam istilah mereka: “Risorgimento”. Namun, insureksi tersebut gagal dan semua yang terlibat pun diburu pemerintah, termasuk Garibaldi. Ia bahkan sudah divonis mati secara in absentia. Menolak dipancung, Garibaldi memilih hidup sebagai buronan di lautan dan melanjutkan petualangannya hingga ke Amerika Latin selama kurang lebih 12 tahun lamanya.
Mulanya, ia berlayar ke Tunisia sebelum akhirnya menemukan jalan menuju Brasil. Setibanya di sana, ia kemudian bergabung bersama para separatis yang memiliki julukan “Farrapos”. Mereka hendak memisahkan diri dari Brasil dan mendirikan “Riograndense Republic”. Perang tersebut dinamakan “Ragamuffin War”.
Usai menetap di Brasil, Garibaldi hijrah ke Uruguay. Sepanjang 1842-1848, ia memimpin pasukan gabungan dari para “Legiun Italia” yang dikenal juga sebagai pasukan "Redshirts" dan koalisi liberal antara “Uruguay Colorados of Fructuoso Rivera” serta “Argentina Unitarios” dalam “Perang Sipil Uruguay” melawan pasukan mantan presiden Uruguay, Manuel Oribe Blancos. Pasukan Garibaldi menang dan berhasil mengokupasi wilayah Colonia del Sacramento dan Isla Martín García, serta memenangi pertempuran berdarah “Battle of Cerro” dan “San Antonio del Santo” pada 1846.
Ketika mendengar kabar bahwa Italia melakukan reformasi Kepausan (yang kelak juga akan berpengaruh besar dalam unifikasi Italia) di bawah kepemimpinan Paus IX, Garibaldi turut gembira. Dari Montiviedo pada 12 Oktober 1847, ia menulis surat kepada Sang Paus:
“Jika tangan-tangan ini, yang selalu digunakan untuk bertarung, dapat diterima oleh Yang Mulia, dengan penuh rasa syukur kami juga akan membaktikan diri dalam melayani Gereja dan Tanah Air. Sungguh membahagiakan jika kami dapat turut mengucurkan darah demi penebusan Paus IX.”
Setahun setelah ia mengirim surat tersebut, di Eropa terjadi revolusi massal. Garibaldi pun kembali ke Tanah Airnya bersama 60 anak buah “Legiun Italia”-nya yang loyal. Garibaldi memimpin pasukannya berperang melawan pasukan Perancis di Roma, juga Austria dan Neapolitan selama berminggu-minggu. Namun, pasukannya kalah dan Garibaldi pun harus diasingkan hingga ke New York, Amerika.
Setelah kembali ke Italia pada 1854, Garibaldi menjadi pemimpin wilayah Sisilia dan Italia bagian selatan pada pertengahan September 1860. Namun, ia menyerahkan kekuasaannya kepada Raja Victor Emmanuel dari Sardinia-Piedmont. Ia meninggal dunia pada 1882.
Renzo Novatore dan "Hak untuk Merampok"
Abele Rizieri Ferrari punya nama pena: Renzo Novatore. Pria Italia kelahiran 12 Mei 1890 ini dapat dikatakan memiliki banyak julukan. Seorang filsuf anarkis, penyair individualis, ilegalis, dan termasuk suara paling awal dari gerakan anti-fasis yang militan di Italia.
Salah satu bukunya berjudul Toward the Creative Nothing yang berhubungan dengan risalah futurisme mengenai sayap-kiri dan serangan destruktif terhadap kekristenan, sosialisme, demokrasi, hingga fasisme. Ia banyak menakik pemikiran Nietzche, Oscar Wilde, Max Stirner, George Palante, Henrik Ibsen, Arthur Schopenhauer, hingga Charles Baudelaire di dalam buku tersebut.
Novatore keluar sekolah sejak tahun pertama dan bekerja di peternakan ayahnya. Di lingkungannya saat itu, yakni di Arcola, kultur (pemikiran) anarkis tengah berkembang pesat dan Novatore pun tertarik mengikutinya.
Ia menolak prinsip kerja formal. Menurut falsafah personalnya, ia berhak merampas apa pun dari orang kaya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Ia mengatakan: “Saya bukan pengemis. Saya hanya mengambil apa yang dapat saya ambil dengan kekuatan saya.”
Ketika Perang Dunia I berlangsung, Novatore memilih desersi dari kesatuannya pada 26 April 1918. Ia dijatuhi hukuman mati oleh pengadilan militer pada 31 Oktober 1918 karena dianggap berkhianat. Novatore lantas melarikan diri meninggalkan desanya, sambil terus membuat propaganda agar para tentara juga desersi dari militer dan segera melakukan pemberontakan bersenjata melawan negara.
Bagi Novatore, peperangan yang terjadi hanyalah nilai-nilai rendah dan kepengecutan ala kaum borjuis. Sepanjang pelariannya, Novatore masih terus aktif dalam kolektif anarko-futuris dan kelompok anti-fasis militan di kota La Spezia: Arditi del Popolo. Ada dua kawan dekat Novatore di sana: Enzo Martucci dan Bruno Flippi. Novatore juga sempat membuat sebuah majalah bernama Vertice.
Pada bulan Mei 1919, ketika La Spezia berada di bawah kontrol dari kelompok yang mengklaim dirinya Komite Revolusioner, Novatore dan kolektif anarkis lainnya ikut bergabung dalam sebuah aksi mogok massal menggugat pemerintah. Novatore yang masih buron akhirnya tertangkap dan dihukum penjara 10 tahun, meski kembali dilepaskan lewat amnesti besar-besaran beberapa bulan kemudian.
Saat Italia mulai dikuasai oleh rezim fasis Benito Mussolini pada periode 1920-an, Novatore dan jejaring kolektifnya bergerak secara klandestin. Pada 1922, Novatore kemudian bergabung dengan sebuah geng perampok terkenal yang menjadi inspirasi bagi banyak anarkis: Sante Pollastro. Namanya pun makin menjadi incaran aparat negara.
Pada musim panas 1922, rumah Novatore, yang ditempatinya beserta istri dan kedua anak laki-lakinya, didatangi tiga truk berisi puluhan aparat. Mereka hendak menangkap Novatore, tapi ia melawan dengan menggunakan granat dan berhasil melarikan diri.
Dalam masa pelarian tersebut, Novatore memikirkan dua kemungkinan: patuh menjadi warga negara yang fasis atau kabur ke Perancis sebagaimana kawan-kawan anarkis lainnya. Novatore memilih opsi ketiga: menjadi bandit yang dimusuhi negara dan masyarakat.
Suatu ketika pada 29 November 1922, Novatore dan kawannya, Sante Pollastro, pergi ke kedai minum di Teglia, dekat Genoa. Mereka tak tahu jika dibuntuti tiga orang “Carabinieri” (polisi militer Italia). Ketika kedua sejawat tersebut mulai sadar dan hendak melarikan diri, salah seorang aparat menembak Novatore. Sementara Pollastro berhasil melarikan diri.
Pada jasad Novatore, aparat menemukan beberapa dokumen palsu, sebuah senapan dengan dua magasin terisi penuh, sebuah granat tangan, dan sebuah cincin dengan tempat untuk mengisikan sesuatu yang berisi sianida berdosis mematikan. Dua tahun setelah kematiannya, sebuah kelompok anarkis-individualis menerbitkan dua pamflet tulisannya: “Al Disopra dell'Arco” dan “Verso il Nulla Creatore”.
Editor: Maulida Sri Handayani